Kalau dulu makan di luar jam 10 pagi dianggap telat sarapan, sekarang justru jadi tren.
Yes, selamat datang di era kultur brunch — kebiasaan nongkrong sambil makan di antara waktu sarapan dan makan siang yang kini jadi gaya hidup baru, terutama buat anak muda perkotaan.
Brunch bukan cuma soal waktu makan, tapi tentang suasana, vibe, dan citra diri.
Dari kafe estetik sampai rooftop restaurant, dari avocado toast sampai kopi latte oat milk — semuanya jadi bagian dari ritual sosial yang dipenuhi estetika dan kehangatan.
Buat generasi urban, brunch adalah momen slow-down di tengah hidup yang cepat. Tempat buat ngobrol, recharge, dan tentu aja: bikin konten.
Tapi ternyata, di balik latte art dan piring cantik itu, kultur brunch punya makna sosial yang lebih dalam dari sekadar makan cantik.
Asal Usul Brunch: Dari Inggris ke Dunia
Sebelum brunch jadi simbol gaya hidup modern, asal-usulnya cukup klasik.
Istilah “brunch” pertama kali muncul di Inggris tahun 1895 lewat artikel di Hunter’s Weekly yang bilang brunch adalah alternatif santai dari Sunday lunch.
Awalnya cuma kebiasaan kaum aristokrat setelah gereja, tapi pelan-pelan berkembang jadi kebiasaan weekend buat semua kalangan.
Ketika tren ini nyebar ke Amerika, brunch berubah jadi simbol sosial baru.
Restoran di kota besar kayak New York dan Los Angeles mulai tawarkan menu spesial tiap akhir pekan — gabungan antara sarapan dan makan siang, lengkap dengan minuman segar seperti mimosa atau jus jeruk.
Dari sana, konsep kultur brunch berkembang jadi gaya hidup global.
Brunch bukan cuma tentang makanan, tapi pengalaman — waktu santai di tengah kehidupan modern yang sibuk.
Dan sekarang, tren ini lagi booming banget di Asia, termasuk Indonesia.
Kafe-kafe urban mulai buka lebih pagi dan nyediain menu brunch yang menggoda mata sekaligus lidah.
Kenapa Brunch Jadi Gaya Hidup Gen Z
Buat Gen Z dan milenial, kultur brunch bukan cuma makan. Ini adalah bentuk ekspresi diri.
Mereka nggak cuma cari makanan enak, tapi juga ambience, musik, dan presentasi yang cocok buat diunggah ke media sosial.
Kamu mungkin pernah lihat: pancake fluffy di piring marmer, scrambled egg lembut dengan truffle oil, atau kopi susu dingin dengan busa sempurna — semua ini bukan kebetulan, tapi bagian dari ritual estetik anak muda urban.
Tapi di balik semua itu, brunch punya vibe yang lebih dalam: comfort with purpose.
Orang datang ke kafe brunch bukan karena lapar banget, tapi karena pengen tenang, ngobrol santai, dan nikmatin waktu tanpa terburu-buru.
Brunch adalah anti-thesis dari dunia yang serba cepat.
Di situ, kamu bisa berhenti sejenak, menikmati makanan cantik, dan merasa “in control” lagi atas hidupmu.
Dan ya, semua itu juga harus “camera-worthy.”
Bisa dibilang, brunch udah berubah dari sekadar jam makan jadi mindset lifestyle.
Brunch Sebagai Simbol Sosial Baru
Menariknya, kultur brunch punya dimensi sosial yang nggak bisa diabaikan.
Di kota besar, brunch sering jadi simbol status sosial — bukan dalam arti sombong, tapi lebih ke “aku punya waktu buat menikmati hidup.”
Karena di dunia modern, waktu justru jadi kemewahan.
Nongkrong di kafe jam 10 pagi hari Minggu artinya kamu punya keseimbangan hidup — kamu bukan cuma kerja terus, tapi juga tahu cara recharge diri.
Selain itu, brunch juga jadi bentuk networking baru.
Banyak ide bisnis, kolaborasi kreatif, atau bahkan kencan pertama dimulai dari meja brunch.
Lingkungan yang santai tapi tetap elegan bikin brunch jadi tempat sempurna buat ngobrol ringan tapi bermakna.
Dan tentu aja, brunch juga jadi ajang gaya.
Dari outfit linen sampai baju oversize pastel, semuanya jadi bagian dari “brunch aesthetic.”
Karena buat Gen Z, setiap detail — dari makanan sampai fashion — adalah bentuk komunikasi sosial.
Menu Brunch yang Paling Disukai Anak Muda
Nggak ada yang namanya brunch tanpa makanan cantik.
Dan yang bikin kultur brunch makin kuat adalah karena menu-menunya fleksibel — bisa sarapan, bisa makan siang, bisa juga dessert disguised as breakfast.
Beberapa menu yang paling sering muncul di feed Instagram anak muda antara lain:
- Avocado toast — simpel tapi classy, simbol gaya hidup sehat modern.
- Eggs Benedict — klasik, creamy, dan selalu elegan.
- Pancake fluffy — manis dan fotogenik, jadi favorit konten brunch.
- Granola bowl — pilihan sehat dengan warna vibrant dari buah-buahan segar.
- Croissant sandwich — buat yang suka vibes Parisian.
- Kopi latte dan matcha — minuman wajib tiap brunch session.
Yang menarik, sekarang banyak kafe lokal yang adaptasi menu ini dengan cita rasa Nusantara.
Ada nasi uduk brunch plate, rendang toast, sampai klepon pancake.
Kombinasi rasa global dan lokal bikin kultur brunch di Indonesia terasa unik banget — modern tapi tetap punya jiwa Indonesia.
Kafe Brunch dan Estetika Ruang
Bicara soal kultur brunch, nggak mungkin lepas dari desain kafenya.
Tempat brunch bukan sekadar restoran, tapi ruang estetik yang dirancang buat menenangkan pikiran dan… tentu aja, selfie.
Desain interior jadi elemen penting.
Warna-warna soft kayak beige, sage green, dan baby pink jadi favorit karena menciptakan suasana calm.
Pencahayaan alami, tanaman hijau, dan meja kayu minimalis bikin tempat brunch terasa hangat dan “clean.”
Musiknya pun dipilih khusus — biasanya chill R&B, lo-fi, atau jazz ringan.
Kombinasi ini bikin brunch bukan cuma pengalaman makan, tapi semacam mini escape dari hiruk-pikuk kota.
Anak muda suka banget sama tempat kayak gini karena mereka cari ketenangan yang estetik.
Dan setiap elemen — dari dekorasi sampai plating — jadi bagian dari narasi visual yang bisa mereka bagikan ke dunia digital.
Brunch di Indonesia: Dari Jakarta ke Bali
Indonesia punya cara unik dalam mengadaptasi kultur brunch.
Setiap kota punya gaya khasnya sendiri, mencerminkan kepribadian warganya.
- Jakarta: Brunch di ibu kota biasanya identik dengan tempat fancy. Banyak kafe hidden gem yang punya konsep “urban calm,” cocok buat kerja santai atau nongkrong. Menu-nya beragam, dari croffle sampai nasi goreng truffle.
- Bali: Di sini brunch lebih ke arah tropical escape. Kafe-kafe di Canggu dan Ubud sering nyajikan smoothie bowl, kopi single origin, dan menu vegan. View sawah atau pantai jadi bonus alami.
- Bandung: Suasana sejuk bikin brunch di Bandung terasa homey. Banyak kafe yang gabungin konsep vintage dan rustic. Menu lokal kayak surabi modern dan kopi susu jadi favorit.
- Surabaya & Yogyakarta: Brunch di kota ini cenderung lebih affordable dan kreatif, sering memadukan budaya lokal dan global.
Fenomena ini nunjukin bahwa brunch bukan sekadar tren impor.
Indonesia udah punya versi sendiri yang lebih ramah, inklusif, dan tentu aja — penuh karakter lokal.
Brunch dan Konten: Makanan Sebagai Estetika Digital
Buat generasi digital, kultur brunch udah identik sama konten.
Makanan nggak lagi sekadar dimakan — tapi difoto, direkam, dan diunggah.
Satu foto pancake dengan lighting bagus bisa jadi konten lifestyle.
Satu video pour-over kopi bisa dapet ribuan views di TikTok.
Dan satu caption simple kayak “slow morning, slow life” bisa bikin orang lain pengen juga nikmatin hal yang sama.
Fenomena ini nggak cuma soal narsis.
Anak muda sekarang pakai makanan buat mengekspresikan mood dan aspirasi.
Brunch jadi simbol keseimbangan hidup — “aku kerja keras, tapi aku juga tahu cara menikmati hidup.”
Jadi nggak heran kalau tiap kafe brunch sekarang punya sudut foto khusus, dari mural cantik sampai meja dengan lighting natural terbaik.
Karena di dunia digital, estetika adalah bagian dari pengalaman makan itu sendiri.
Brunch Sehat: Antara Kenikmatan dan Keseimbangan
Di era kesadaran kesehatan, kultur brunch juga bertransformasi jadi lebih mindful.
Orang nggak cuma nyari rasa, tapi juga nutrisi dan keseimbangan.
Menu brunch sekarang banyak yang berbasis plant-based, rendah gula, dan tinggi protein.
Smoothie bowl, salad quinoa, dan roti gandum jadi bintang baru di meja brunch.
Bahkan minumannya pun berubah — dari kopi susu manis ke kombucha, jus cold-pressed, atau teh herbal.
Semua ini ngasih vibe “clean eating” yang cocok banget buat generasi yang peduli keseimbangan tubuh dan pikiran.
Kesehatan sekarang bukan cuma soal diet, tapi gaya hidup penuh kesadaran.
Dan brunch adalah cara paling stylish buat menerapkannya.
Masa Depan Brunch: Hybrid Lifestyle dan Mindful Dining
Melihat perkembangan kultur brunch sekarang, tren ini jelas nggak bakal berhenti.
Ke depan, brunch akan jadi bagian dari gaya hidup hybrid — perpaduan antara kerja, relaksasi, dan eksplorasi rasa.
Kafe-kafe masa depan mungkin bakal dilengkapi ruang kerja fleksibel, studio mini, atau area yoga.
Brunch bukan lagi sekadar makan, tapi ritual keseimbangan antara produktivitas dan ketenangan.
Teknologi juga bakal berperan besar.
Kita bakal lihat sistem pre-order digital, AR menu, sampai kopi dengan desain AI latte art.
Tapi di tengah semua kemajuan itu, satu hal yang nggak bakal berubah: brunch selalu tentang manusia — tentang koneksi, obrolan, dan momen kecil yang terasa bermakna.
Kesimpulan
Kultur brunch bukan cuma tren sementara, tapi refleksi dari cara hidup baru generasi urban.
Brunch ngajarin kita buat menikmati waktu, menghargai makanan, dan merayakan momen kecil dalam hidup yang sibuk.
Dari piring avocado toast sampai kopi susu di tangan, brunch jadi simbol keseimbangan antara kerja dan istirahat, antara modernitas dan ketenangan.